Membangun Pribadi Islami dalam Pemberantasan
Korupsi
Oleh:
Muhammad Arbain[1]
A.
Pendahuluan
Korupsi di Indonesia sudah
tergolong membudaya. Membudaya karena telah merusak, tidak saja keuangan negara,
dan potensi ekonomi negara, tetapi juga telah meluluhlantakan pilar-pilar sosio
budaya, moral, politik, tatanan hukum, dan keamanan nasional. Oleh karena itu,
pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu dan juga tidak bisa
dengan pendekatan parsial. Pemberantasan korupsi harus dilaksanakan secara
komprehensif dan bersama-sama dengan lembaga penegak hukum, lembaga masyarakat,
tokoh agama, dan individu anggota masyarakat.
Tindak kejahatan korupsi
telah mewabah dan menjamur serta menjadi suatu penyakit yang telah menggerogoti
hampir disetiap lini kehidupan. Berbagai macam kasus korupsi yang dapat kita
telusuri seperti kasus penggelapan dana Wisma Atlit, kasus Bank Century, dan
kasus mafia perpajakan dan peradilan yang kian tidak kunjung usai dalam
pemberantasannya.
Kemudian yang menjadi
pertanyaan sekarang, mengapa tindak kejahatan korupsi amat sukar untuk
diberantas? ada beberapa penyebab
terjadinya korupsi di Indonesia antara lain yaitu: Pertama, sistem penyelenggaraan negara yang keliru. Kedua, tidak adanya
kesejahteraan. Ketiga,
pejabat yang serakah. Keempat,
hukum yang lemah. Kelima,
hukuman yang ringan kepada para koruptor. Keenam, pengawasan
yang tidak efektif. Ketujuh,
tidak adanya keteladanan pemimpin. Kedelapan,
budaya masyarakat yang kondusif korupsi (Abu Fida, 2006: xv).
Dari tujuh penyebab di atas,
dapat dipahami bahwa keteladanan pemimpin menjadi faktor penting dalam
pemberantasan korupsi. Pemimpin yang memiliki integritas pribadi yang berbudi
pekerti yang mulia haruslah bercermin dari meneladani budi pekerti dan akhlak
kepribadian Rasulullah Saw. Sesuai dengan tujuan Rasulullah Saw diutus
kepermukaan bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Integritas pribadi Rasulullah
Saw merupakan panutan dan sebagai tolak ukur diri untuk lebih memperbaiki sikap
dan jiwa seperti jiwa dan budi pekerti Rasulullah Saw yang amat agung dan mulia
serta menjadi pandangan hidup bagi seluruh umat manusia agar terhindar dari
segala bentuk penyimpangan dan perbuatan-perbuatan tercela yang di haramkan oleh agama dan tidak dibenarkan
oleh hukum.
Oleh karena itu, jika ingin tercipta suatu bangsa dan negara
yang baik dan bersih perlu adanya upaya membina dan memperbaiki sikap dan jiwa,
sehingga dengan adanya perjuangan dan pengorbanan yang diimplementasikan dalam upaya
meningkatkan kualitas SDM yang berkarakter serta dapat menjadi tolak ukur bagi
negara lain. Jika karakter jiwa dan sikap pribadi manusia sudah baik Insya
Allah upaya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik (good goverment),
bersih, adil, jujur, sejahtera akan tercipta dan negara ini akan terbebas dari
segala bentuk penyimpangan yang dapat merugikan bangsa dan negara.
Berpijak dari pemikiran di atas, maka
tulisan ini bermaksud untuk menemukan solusi yang tepat dan relevan untuk
memberantas penyakit korupsi di Indonesia. Adapun rumusan masalah yang diajukan
adalah, metode apa yang harus dilakukan dan diterapkan untuk dapat membentuk,
membina, dan menjadi senjata ampuh untuk membangun pribadi Islami dalam konteks
pemberantasan korupsi di Indonesia?
B. Metode Membina Pribadi Islami yang Berakhlakul Karimah
Dalam upaya menanamkan
nilai-nilai pribadi yang islami untuk mencapai kesempurnaan akhlakul karimah
perlu adanya metode yang dapa menjadi tolak ukur dalam membina akhlakul
karimah.Adapun metode pembinaan akhlakul karimah adalah sebagai berikut : Pertama, al-gharizah
(pembinaan instink). Al-Gharizah adalah sejumlah kemauan yang dapat
mendorog usaha mencapai puncaknya tanpa memerlukan pemikiran mendalam (Abu Fida, 2002: 15). Manusia memiliki instink (naluri)
yang sudah dibawa sejak lahir seperti instink membela diri, instink
kecenderungan bersatu dengan kelompok, dan instink memiliki rasa takut, serta
instink ketuhanan yang ada di dalam diri.
Kedua, al-
adat (pembiasaan). Kebiasaan adalah pekerjaan yang dilakukan secara
berulang-ulang sehingga melakukannya akan menjadi mudah. Pembiasaan sebagai
salah satu metode atau jalan untuk memperbaiki dan mendidik perilaku atau
akhlak seseorang sehingga menjadi kebiasaan atau tabiat yang dapat membentuk
kekuatan yang positif yang dapat mencerminkan perilaku yang berakhlakul
karimah.
Ketiga, al-iradah (membina kemauan). Iradah
adalah kekuatan yang memiiki daya gerak yang mampu membangkitkan manusia. Dalam
membina kemauan pada diri, ada dua dorongan yang mampu mengantarkan manusia
untuk berbuat baik dan tidak baik.
Irodah dafi’ah merupakan kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan
sesuatu perbuatan. Sedangkan irodah mani’ah adalah kekuatan yang mampu menahan
untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan.
Keempat, al-wiratsah (membina keturunan dan
lingkungan). Membina keturunan merupakan suatu metode untuk membina seorang
anak. Penanaman akhlak seharusnya dapat ditanamkan sejak usia dini. Bahkan
penanaman akhlak dapat tertanam ketika masih didalam rahim seorang ibu. Seorang
anak akan memiliki budi pekerti yang luhur, jika kedua orang tuanya juga
memiliki kepribadian yang luhur, karena seorang anak akan selalu mengikuti dan
mencontoh tingkah laku kedua orang tuanya.
Oleh
karena itu, penanaman akhlak terhadap seorang anak dipengaruhi oleh kedua orang
tuanya. Kondisi psikis dan jiwa seorang anak sangat rentan sekali, sehingga
harus ada pembinaan yang intensif dan istiqomah dalam hal membina keturunan.
Kemudian aspek yang paling dominan dan besar pengaruhnya pada seorang anak
adalah faktor lingkungan. Seorang anak bisa menjadi baik dan buruk moralnya
tergantung pada lingkungan dimana anak itu berkembang. Oleh karena itu, peranan
kedua orangtua beserta peran penting dari masyarakat dapat mempengaruhi
perkembangan jiwa dan mental seorang anak.
C. Membangun Pribadi Islami yang Berakhlakul Karimah
Dalam membangun diri menjadi pribadi yang
islami dan berakhlakul karimah seharusnya dilakukan sejak dini bahkan semenjak
penanaman benih didalam rahim seorang ibu haruslah dengan penanaman moral dan
akhlak. Sehingga moral dan akhlak anak bangsa bisa mencerminkan pribadi yang
islami sehingga dapat tercipta suatu negara yang kaffah dan berakhlakul karimah
seperti akhlak dan budi pekerti Rasulullah Saw.
Berdasarkan Sabda Nabi
Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
“Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Imam Ahmad).
Adapun firman Allah Swt yang
menerangkan tentang pribadi Rasulullah Saw sebagai suri tauladan yang baik
termaktub dalam surah Al-Ahzab: 21
“Sesungguhnya telah ada pada diri pribadi Rasulullah
Saw suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan
pahala dari Allah dan hari kemudian(Akhirat), serta ia banyak mengingat Allah
Swt” (QS. Al-Ahzab: 21).
Berdasarkan ayat di atas,
meneladani akhlak dan budi pekerti Rasulullah Saw
merupakan suatu perbuatan
yang baik karena sebagai umatnya haruslah berupaya dan senantiasa meneladani
integritas pribadi Rasulullah Saw sehingga didalam setiap langkah dan aktifitas
selalu mencerminkan perbuatan yang baik dan benar.
Pada
hakikatnya moral dan akhlak memiliki urgensi dan substansi yang sama mengenai
perilaku, sikap, dan jiwa seseorang. Akan tetapi moral (etika) itu sendiri
merupakan norma-norma/budaya yang telah disepakati oleh suatu masyarakat dalam
situasi dan kondisi tertentu. Sedangkan akhlak atau kepribadian muslim yaitu
norma-norma hubungan yang baik antara manusia dengan manusia, manusia dengan
alam, dan manusia dengan Tuhannya.
Menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh
Arief (2002: 2), bahwasanya akhlak adalah gambaran tentang gerakan jiwa yang
telah mendarah daging sehingga dapat menimbulkan pekerjaan yang dapat
ditunaikan dengan mudah tanpa pertimbangan atau melalui proses pemikiran. Sedangkan menurut Ahmad Amin (1998: 12), akhlak adalah kemauan
yang dibiasakan sehingga menjadi watak atau akhlaknya. Berdasarkan pendapat
para tokoh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pembiasaan (Al-Adat)
merupakan salah satu langkah untuk membina akhlak seseorang kearah yang lebih
baik, sehingga segala bentuk penyimpangan yang tidak bermoral dapat dihindari.
Oleh sebab itu, upaya untuk menanamkan
nilai-nilai akhlakul karimah dapat dimulai dari diri pribadi, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara yang dapat membentuk pribadi yang islami yang
berlandaskan syariat Islam. Untuk membentuk syaksiyah Islamiyah dalam
diri seseorang ditempuh melalui dua tahapan. Pertama, mewujudkan atau
menanamkan aqidah Islamiyah pada diri seseorang agar dia jadikan aqidah sebagai
pandangan hidupnya. Kedua, seseorang muslim yang memiliki aqidah
Islamiyah kemudian menjadikan aqidah dalam proses berfikirnya sehingga ia
memiliki pola fikir yang sesuai dengan pemikiran yang islami (Yusanto dan Jati,
2005: 28).
Oleh karena itu, perlu adanya keharmonisan antara aqidah Islamiyah
dengan pola pemikiran yang Islamiyah pula sehingga dalam melangkah tidak
terjerumus dalam tindakan yang tidak benar atau batil. Praktik korupsi terjadi
karena individu tidak memiliki nilai moral yang dapat mencegah korupsi yang
akan dilakukannya. Oleh karena itu, perlu adanya penanaman nilai-nilai moral
yang terintegrasi menjadi kepribadian yang kokoh. Ada tiga metode untuk
mengintegralisasikan moral dan akhlak pada tiap individu. Pertama,
pendekatan rasionalistik. Kedua, pendekatan spiritual. Ketiga,
kombinasi antara rasionalistik dan spiritual. Akan tetapi metode yang paling
cocok diterapkan adalah metode yang kedua yaitu spiritualistik karena sesuai
dengan fitrah manusia untuk berbuat baik, cocok dengan karakter masyarakat
Indonesia yang religius, serta konsep pendekatannya dapat dimasukkan dalam
kurikulum pengajaran nasional.
Maka dari itu perlu adanya usaha-usaha untuk
menanamkan nilai-nilai moral dengan pendekatan spiritualistik. Dengan adanya
pendekatan spiritualistik tersebut, maka dapat pula dilakukan suatu pembinaan
pembersihan jasmani maupun pembersihan rohani atau jiwa (tazkiyatun nafs)
yang akan menghasilkan suatu individu yang memiliki integritas pribadi yang
islami, jujur dan malu untuk melakukan korupsi.
Agama Islam adalah agama yang mayoritas di
negeri ini yang memiliki konsep ajaran yang hanif
(lurus) yang sesuai dengan fitrah dan jiwa manusia. Agama Islam disamping
memperhatikan kebersihan raga juga memperhatikan kebersihan jiwa. Dalam
membersihkan jiwa dari penyakit korupsi haruslah memerlukan konsep yang tepat
dan akurat . Oleh karena itu konsep penyucian jiwa (tazkiyatun nafs)
sangatlah tepat untuk mengobati jiwa-jiwa yang sakit pada diri setiap manusia
yang telah menjamur disetiap lini kehidupan, baik jiwa pribadi, keluarga, masyarakat,
maupun jiwa para pemimpin yang terjerumus dalam segala bentuk penyimpangan dan
tindak kejahatan korupsi.
Oleh karena itu, upaya untuk membentengi diri dari perbuatan
yang tercela dapat dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara.
Dengan adanya upaya pembersihan jiwa maka segala bentuk penyimpangan akan bisa
terkontrol dan terkendali dengan senantiasa berusaha memperbaiki diri dan memperbaharui
keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Adapun upaya membersihkan jiwa dari segala
bentuk penyimpangan dan perbuatan tercela adalah; Pertama, membentuk sifat jujur dalam diri. Secara bahasa
jujur adalah menetapkan hukum sesuai dengan realitas. Menurut Syekh Abdul Qadir
Jailani jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi yang tidak menguntungkan
dan tetap bersikap jujur walaupun dalam posisi yang tidak menyelamatkan jiwanya
(Rafi’, 2006: 151).
Kejujuran merupakan derajat kesempurnaan
manusia tertinggi dan seorang tidak akan berlaku jujur kecuali dia memiliki
jiwa yang baik, hati yang bersih, pandangan yang lurus, sifat yang mulia, lidah
yang bersih, dan hati yang diliputi dengan keimanan, keberanian, dan kekuatan.
Kejujuran termasuk penyempurnaan iman dan
pelengkap keislamannya, karena Allah Swt memerintahkan kepadanya dan memuji
orang-orang yang jujur. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. At-Taubah :119
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS. At-Taubah: 119).
Berpijak dari ayat Al-Quran di atas, ketika di dalam
diri seseorang telah tertanam sifat kejujuran maka tindak penyimpangan dan
perbuatan-perbuatan yang tercela yang dapat merusak jiwa bisa terkontrol,
sehingga tindak kejahatan korupsi yang telah merajalela hampir di setiap lini
kehidupan, baik di lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga swasta.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya penanaman
sikap kejujuran sejak dini sehingga dapat menjadi suatu kebiasaan yang dapat
mendorong seorang anak untuk dapat berkata yang jujur dan benar. Peranan kedua
orang tua dalam membina akhlak dan jiwa seorang anak sangatlah penting dan
menjadi suatu kewajiban bagi kedua orang tua dalam membina anak-anaknya
sehingga tidak terjerumus dalam hal-hal yang tidak diinginkan atau perbuatan
yang tercela. Maka dari itu peranan orang tua memiliki urgensi yang amat
penting dalam menciptakan seorang anak yang
shalih dan senantiasa berada dijalan yang benar.
Kemudian
hal-hal yang dapat menyebabkan anak dapat menjadi baik dan tidak baik
tergantung kepada dimana lingkungan seorang anak itu berada. Jika ia berada
didalam lingkungan yang baik dan religius maka ia akan menjadi seorang anak
yang memiliki pribadi yang islami dan shalih, dan jika ia berada dalam
lingkungan yang buruk maka ia akan menjadi anak yang buruk pula, karena baik
buruknya seorang anak itu tergantung dari bimbingan kedua orang tuanya dan
lingkungan tempat ia berada untuk melakukan aktifitas sehari-hari.
Lingkungan merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi perkembangan diri seorang anak, baik mental maupun kondisi psikologinya
karena ketika anak terlepas dari pantauan kedua orang tuanya faktor
lingkunganlah yang dapat mempengaruhi seorang anak untuk dapat melakukan
hal-hal yang positif dan negatif. Oleh karena itu kedua orang tua haruslah
dapat menjadi panutan dan contoh yang baik bagi anak-anaknya serta dapat selalu
memantau anak-anaknya dalam setiap pergaulannya.
Kedua, membentuk sifat amanah. Membentuk sifat
amanah wajib bagi setiap individu muslim, karena amanah adalah kepercayaan yang
menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepada
dirinya, baik amanah dari Allah Swt maupun dari orang-orang yang memberikan
kepercayaan kepadanya untuk melaksanakan tugas sebagai seorang pemimpin maupun
tugasnya sebagai seorang manusia di muka bumi (Asyiq dan Kaffah, 2007: 66).
Seorang pemimpin adalah sebagai pembawa amanat
Allah Swt, amanat keadilan dan kemaslahatan segenap rakyat adalah tugas dan
kewajiban bagi seorang pemimpin. Berdasarkan firman Allah Swt yang termaktub
dalam surah An-Nisa ayat 58
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah-amanah kepada pemiliknya, dan apabila
kamu menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (QS.
An-Nisa: 58).
Menurut Quraish Shihab (2002:
479) dalam Tafsir Al-Mishbah bahwasanya amanat adalah sesuatu yang
diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan nanti akan diminta oleh
pemiliknya. Amanat harus ditunaikan dengan adil dan penuh tanggung jawab serta
ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan, dan ras. Oleh karena itu, jika
amanat telah ditegakkan secara adil dan bijaksana maka negara ini akan terbebas
dari tindak penyimpangan, sehingga apa yang dicita-citakan oleh seluruh rakyat
dan diinginkan oleh rakyat dapat terwujud. Pemimpin harus memiliki jiwa
kepemimpinan yang berasakan islam yang dapat mengantarkan rakyatnya kearah
kesejahteraan dan kemakmuran secara merata, sehingga dapat menjadi suatu negara
yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur.
Ketiga, mensyukuri nikmat harta. Syukur adalah
ungkapan pujian seorang hamba kepada sang pemberi nikmat atas segala kebaikan
yang telah diberikan kepadanya. Syukur seorang hamba terdiri atas tiga rukun
yaitu, secara batin mengakui nimat yang telah diberikan kepadanya, secara lisan
dan kombinasi antara lisan dan batin harus diucapkan dan dijadikan sarana untuk
mendekatkan diri serta meningkatkan ketaatan kepada Allah Swt.
Syukur adalah cara yang ampuh membentuk sifat
qana’ah dalam diri manusia. Dengan adanya sifat qana’ah akan timbul sifat-sifat
ridha terhadap anugrah dari Allah yang
diberikan kepadanya. Jadi dengan adanya
sifat syukur terhadap nikmat harta yang dimilikinya maka secara otomatis rasa
syukur akan tumbuh dan berkembang menjadi suatu ketaatan kepada Allah Swt,
sehingga di dalam menjalani kehidupan sehari-hari selalu mengharapkan ridha
dari Swt baik dalam aspek keduniawian maupun keakhiratan. Sesuai dengan firman
Allah Swt yang termaktub didalam Al-Quran surah Ibrahim ayat 7
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami
akan menambahkan (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim:
7).
Berdasarkan ayat Al-Quran tersebut, jika
manusia itu dapat bersyukur tentang apa yang telah diberikan kepadanya baik
nikmat kesehatan, nikmat umur, dan nikmat harta, maka ia akan memperoleh
kebahagiaan didunia maupun diakherat kelak. Oleh karenanya upaya untuk memupuk
rasa syukur didalam jiwa sangatlah penting dengan cara melihat kepada
orang-orang miskin yang ada dibawah sehingga muncul upaya untuk dapat introspeksi
diri dan saling tolong menolong kepada kebaikan.
Syukur terhadap harta merupakan upaya untuk
dapat bermuhasabah (introspeksi) tentang nikmat harta yang dimilikinya, karena
itu, perlu adanya kesadaran diri bahwasanya harta yang diberikan merupakan suatu
titipan sementara dari Allah Swt kepada seluruh umatnya.
Keempat, menumbuhkan rasa takut (khauf) kepada
Allah Swt. Rasa takut seorang hamba kepada Rabb-Nya sangat berpengaruh terhadap
tingkah laku dan perbuatannya. Dengan adanya rasa takut didalam diri sehingga
dapat mencegah dari perbuatan yang tercela dan mengikatnya menjadi
bentuk-bentuk ketaatan kepada sang khalik.
Kekurangan rasa takut akan mendorong manusia kepada
kealpaan dan keberanian untuk melakukan tindakan-tindakan menyimpang seperti
korupsi. Tindak kejahatan korupsi tersebut terjadi karena tidak ada rasa takut
akan azab Allah yang sangat pedih, sehingga usaha untuk melakukan korupsi
dengan mudah dilakukan walaupun ditempuh dengan berbagai cara yang tidak benar.
Abdul Qasim Al-Hakim bertutur, “siapa yang
takut terhadap sesuatu ia akan lari darinya. Tetapi siapa yang takut kepada
Allah, ia justru lari untuk mendekatinya”. Seseorang yang takut kepada Allah
akan diberikan keutamaan dan diberikan naungan pertolongan serta terhindar dari
azab api neraka (Ahnan dan Nuris, 2005: 141).
“Sesungguhnya
orang-orang yang takut kepada Rabb-Nya yang tidak tampak oleh mereka, dan
mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Mulk: 12).
Rasa takut merupakan suatu cerminan diri
bahwasanya Allah Swt selalu mengawasi segala gerak gerik umat manusia. Walaupun
Allah tidak nampak dengan kasat mata akan tetapi Allah Swt maha mengetahui akan
segalanya.
Dengan adanya rasa takut akan adanya azab Allah
Swt maka perbuatan yang akan dilakukan dapat menjadi kontrol diri dalam
menjalani setiap aktifitas hidup, sehingga tindak kejahatan korupsi dapat terkendali
walaupun tidak secara totalitas akan tetapi dengan adanya upaya-upaya tersebut
korupsi di negeri ini akan musnah dengan sendirinya jika didalam diri pribadi
umat manusia telah tertanam sifat-sifat akhlakul karimah sebagai cerminan dan
implementasi dari diri pribadi Rasulullah Saw sebaga suri tauladan yang baik.
Kelima, menumbuhkan sifat malu. Ibnu Majah
meriwayatkan sebuah hadits yang menggambarkan betapa rasa malu harus
ditumbuhkan dan dibudayakan demi keselamatan suatu bangsa. Rasulullah Saw
bersabda: “Jika Allah ingin menghancurkan suatu kaum, dicabutlah dari mereka
rasa malu”. Jika rasa malu hilang maka yang muncul adalah sikap keras hati.
Ketika sikap keras hati telah membudaya Allah mencabut dari mereka sifat
amanah, kejujuran, dan tanggung jawab.
Malu merupakan akhlak dan jiwa yang luhur nan
indah. Malu juga merupakan akhlak yang dapat mendorong orang berbuat kebaikan
dan meninggalkan kemaksiatan. Oleh karena itu, syariat Islam yang agung
memberikan memberikan tekanan pada sikap malu dan memberikan pujian pada orang
yang memiliki sifat malu.
Berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang
diriwayatkan oleh Al-Hakim “Sesungguhnya
setiap agama memiliki akhlak , dan akhlak Islam adalah malu” (HR. Al-Hakim).
Bangsa Indonesia akan hancur ketika pada diri
setiap manusia tidak ada lagi sifat malu, karena hilangnya sifat malu tersebut
akan berimplikasi terhadap hancurnya moral anak bangsa. Oleh karena itu, perlu
adaya upaya penangana khusus mengenai jiwa yang sakit dan upaya untuk
menghilangkan sifat iri, dengki, hasut merupakan sifat fasad (kerusakan)
yang memang sebagai manusia biasa hal ini harus diperhatikan dan senantiasa
berupaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Kehancuran suatu bangsa terjadi karena telah
tercabutnya rasa malu yang ada pada diri pribadi umat manusia. Manusia pada
umumnya manusia memiliki sifat malu akan tetapi ketika ia diambang kesusahan
yang berkepanjangan, maka melakukan perbuatan yang tidak baik dengan mudah ia
lakukan karna adanya faktor merasa tidak puas dan kuatnya iri dan dengki dalam
dirinya serta rendahnya taraf keimanan yang ada pada dirinya.
Keenam, muraqabbatullah (pengawasan Allah). Muraqabbatullah
adalah merasakan keagungan Allah Swt disetiap waktu, kapanpun dan dimanpun
berada serta merasakan kebersamaan dikala sepi maupun ramai. Akan tetapi tidak
semua orang dapat merespon muraqabbatullah dan ihsan kepada Allah sebagaimana
mestinya, malah banyak yang tidak menyadari bahwa setiap detik, menit, jam, dan
setiap hari selalu berada dalam pengawasan Allah.
Dalam sebuah hadits, Nabi ditanya tentang ihsan
dan beliau menjawab, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya, maka dia melihat engkau” (Quraish
Shihab, 2007: 163).
Dalam setiap tingkah laku perbuatan umat
manusia selalu dan tidak pernah lepas dari pengawasan Allah Swt, karena Allah
Swt senantiasa mengintai, melihat, dan mengawasi hambanya. Sebagai seorang
manusia yang memiliki integritas pribadi yang luhur, maka manusia perlu
memahami dan merasakan didalam sanubari dan jiwa bahwasanya Allah Swt tidak
pernah tidur dan lengah dalam mengawasi setiap langkah hambanya.
Oleh karena itu, upaya untuk berislah diri atau
memperbaiki diri merupakan suatu keharusan bagi setiap umat manusia. Dengan
adanya rasa takut dan pengawasan akan Allah Swt, maka manusia akan terhindarkan
dari segala bentuk dan macam kemaksiatan dan penyimpangan yang dapat merugikan
diri sendiri maupun orang banyak dan bahkan merugikan negara.
Ketujuh, menumbuhkan kecintaan (al-mahabbah). Menumbuhkan
kecintaan kepada Allah Swt merupakan hakikat keimanan dan ketakwaan kepada
Allah Swt. Rasa cinta merupakan anugrah dari Allah Swt kepada makhluknya. Cinta
yang paling wajib dan paling tinggi adalah cinta kepada Allah Swt dengan
senantiasa mengerjakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
Oleh karena itu ketika seorang manusia tidak
memberikan rasa cintanya kepada Allah Swt maka manusia itu akan melakukan berbagai penyimpangan. Sebagai
contoh penyimpangan tersebut adalah korupsi. Korupsi terjadi akibat kecintaan manusia terhadap
dunia atau harta yang berlebihan (2006: 168).
Maka dari itu, perlu adanya kecintaan kepada
Allah Swt sehingga disetiap langkah dan tingkah laku senantiasa dalam
perlindungan Allah Swt. Dalam konteks menumbuhkan kecintaan kepada Allah Swt merupakan implementasi dari hakikat diri atas keimanan kepada Allah Swt.
Rasa cinta kepada Allah Swt haruslah dapat
dibina didalam jiwa serta dapat dijadikan suatu acuan bagi setiap insan dalam melaksanakan
segala aktifitas, sehingga adanya keseimbangan antara kehidupan di dunia maupun
kehidupan di akhirat kelak. Ketika seorang manusia telah tertanam rasa cintanya
kepada Allah Swt dan kesungguhannya tentang makna hidup ini, maka jiwa akan
merasa tenang, tentram, dan damai melalui taqarrub kepada Allah Swt.
Kedelapan, bertaubat untuk tidak melakukan korupsi. Taubat
adalah kembali kepada Allah dengan sebenar-benarnya (taubat nasuhah).
Taubat nasuha adalah penyesalan dalam hati, permohonan ampunan dengan lisan,
meninggalkan dan tidak mengulanginya lagi. Manusia tidak pernah luput dari
namanya khilaf dan kealpaan, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk
senantiasa mengingat Allah dan memohon ampunan atas segala apa yang telah
diperbuat dan dilakukan baik sadar ataupun tidak.
Dengan senantiasa memohon ampunan Allah baik
denagn hati dan lisan, dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Bertaubat
dengan sebenar-benarnya taubat untuk mengharapkan ridha dan ampunan dari Allah
Swt. Berdasarkan firman Allah Swt dalam surah An-Nur ayat 31:
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31).
Berpijak dari ayat Al-Quran diatas, bahwa
senantiasa berupaya mensucikan jiwa serta bertaubat kepada Allah Swt dengan
sebenar-benarnya. Dengan senantiasa berupaya dan bertaubat kepada Allah Swt
serta berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan selalu memperbaharui keimanan
dan ketakwaannya.
D. Kesimpulan
Kehancuran moral dan akhlak suatu bangsa
diakibatkan karena tidak adanya keseimbangan kehidupan duniawi dan ukhrawi
sehingga realitas sekarang bangsa ini mengakibatkan degradasi moral dan telah
mewabah hampir disetiap aspek kehidupan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya
penanganan secara intensif tentang moralitas bangsa ini. Dengan selalu
meningkatkan keimanan serta ketakwaan kepada Allah Swt serta menanamkan
sifat-sifat pribadi yang islami dan berakhlakul karimah serta memiliki sifat
jujur dan amanah kepada apa yang telah di amanatkan kepadanya. Jika didalam
jiwa dan diri telah tertanam sifat-sifat akhlakul karimah yang merupakan perwujudan dan cerminan dari
diri pribadi Rasulullah Saw. Insya Allah segala bentuk penyimpangan dan
perbuatan-perbuatan tercela akan dapat terkendali dan tertuntaskan
sehingga pada setiap pribadi diri dan
Negara Indonesia akan selalu mendapatkan naungan dan ridha dari Allah Swt.
Jika didalam diri telah ada sifat pribadi
diri Rasulllah Saw melalui sifat akhlakul karimah beliau sebagai suri tauladan
yang baik bagi umatnya, maka tindak kejahatan korupsi di negeri ini bisa
diberantas sampai keakar-akarnya. Melalui terapi penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs)
yang meliputi diri untuk selalu bersikap
jujur, amanah, bersyukur, menumbuhkan rasa takut kepada Allah, adanya sifat
malu dalam diri, muraqabbatullah, menumbuhkan kecintaan, dan senantiasa
bertaubat kepada Allah Swt dengan sebenar-benarnya taubat dan berjanji untuk
tidak mengulanginya.
Akhirnya, di penutup tulisan ini penulis
merekomendasikan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk dapat berupaya
menciptakan Negara Indonesia yang bersih, jujur, adil, dan sejahtera. Sehingga
bangsa ini bisa mapan dalam menyikapi segala permasalahan yang ada dan bisa
menjadi bangsa yang berkarakter melalui pribadi-pribadi masyarakat Indonesia
yang islami. (MA).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan terjemahannya. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Abu Fida’ Abu Rafi’. 2006. Terapi Penyakit
Korupsi. Jakarta: Republika
Aqis Bil Qisthi. 2005. Kumpulan Sabda Nabi
Muhammad Saw. Jakarta: Bintang Usaha Jaya
Basri Iba Asghary. 1994. Solusi Al-Quran.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Ismail Noor. 2011. Manajemen
Kepemimpinan Muhammad Saw. Bandung: PT. Mizan Pustaka
M. Ismail Yusanto dan M. Sigit purnawan Jati.
2005. Membangun Kepribadian Islam.
Jakarta: Khairul Bayan
M. Romly Arief. 2002. Akhlak Tasawwuf.
Jombang: BMT Muamalah Press IKAHA Tebuireng
M. Asyiq Amrulloh dan Eryvyn. 2003. Amanah
vs Kekuasaan. Mataram: Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB
M. Quraish Shihab. 2007. Secerah Cahaya
Ilahi. Bandung: Mizan
M. Quraish Shihab. 2002. Tafsir Al-Misbah.
Tanggerang: Lentera Hati
Mafhum Ahnan dan Anwar Nuris. 2005. Khusnul
Khotimah. Surabaya: Terbit Terang
Tariq Muhammad As-Suwaidan dan Faisal Umar.
2005. Kepemimpinan Rasulullah. Jakarta: Maghfirah Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar