Jumat, 30 November 2012

Membangun Pribadi Islami dalam Pemberantasan Korupsi


Membangun Pribadi Islami dalam Pemberantasan Korupsi
Oleh:
Muhammad Arbain[1]

                                                                          

A.      Pendahuluan
Korupsi di Indonesia sudah tergolong membudaya. Membudaya karena telah merusak, tidak saja keuangan negara, dan potensi ekonomi negara, tetapi juga telah meluluhlantakan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, tatanan hukum, dan keamanan nasional. Oleh karena itu, pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu dan juga tidak bisa dengan pendekatan parsial. Pemberantasan korupsi harus dilaksanakan secara komprehensif dan bersama-sama dengan lembaga penegak hukum, lembaga masyarakat, tokoh agama, dan individu anggota masyarakat.
Tindak kejahatan korupsi telah mewabah dan menjamur serta menjadi suatu penyakit yang telah menggerogoti hampir disetiap lini kehidupan. Berbagai macam kasus korupsi yang dapat kita telusuri seperti kasus penggelapan dana Wisma Atlit, kasus Bank Century, dan kasus mafia perpajakan dan peradilan yang kian tidak kunjung usai dalam pemberantasannya.
Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang, mengapa tindak kejahatan korupsi amat sukar untuk diberantas?  ada beberapa penyebab terjadinya korupsi di Indonesia antara lain yaitu: Pertama, sistem penyelenggaraan negara yang keliru. Kedua, tidak adanya kesejahteraan. Ketiga, pejabat yang serakah. Keempat, hukum yang lemah. Kelima, hukuman yang ringan kepada para koruptor. Keenam, pengawasan yang tidak efektif. Ketujuh, tidak adanya keteladanan pemimpin. Kedelapan, budaya masyarakat yang kondusif korupsi (Abu Fida, 2006: xv).
Dari tujuh penyebab di atas, dapat dipahami bahwa keteladanan pemimpin menjadi faktor penting dalam pemberantasan korupsi. Pemimpin yang memiliki integritas pribadi yang berbudi pekerti yang mulia haruslah bercermin dari meneladani budi pekerti dan akhlak kepribadian Rasulullah Saw. Sesuai dengan tujuan Rasulullah Saw diutus kepermukaan bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak.                        
Integritas pribadi Rasulullah Saw merupakan panutan dan sebagai tolak ukur diri untuk lebih memperbaiki sikap dan jiwa seperti jiwa dan budi pekerti Rasulullah Saw yang amat agung dan mulia serta menjadi pandangan hidup bagi seluruh umat manusia agar terhindar dari segala bentuk penyimpangan dan perbuatan-perbuatan tercela yang  di haramkan oleh agama dan tidak dibenarkan oleh hukum.
                               Oleh karena itu, jika ingin tercipta suatu bangsa dan negara yang baik dan bersih perlu adanya upaya membina dan memperbaiki sikap dan jiwa, sehingga dengan adanya perjuangan dan pengorbanan yang diimplementasikan dalam upaya meningkatkan kualitas SDM yang berkarakter serta dapat menjadi tolak ukur bagi negara lain. Jika karakter jiwa dan sikap pribadi manusia sudah baik Insya Allah upaya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik (good goverment), bersih, adil, jujur, sejahtera akan tercipta dan negara ini akan terbebas dari segala bentuk penyimpangan yang dapat merugikan bangsa dan negara.
                               Berpijak dari pemikiran di atas, maka tulisan ini bermaksud untuk menemukan solusi yang tepat dan relevan untuk memberantas penyakit korupsi di Indonesia. Adapun rumusan masalah yang diajukan adalah, metode apa yang harus dilakukan dan diterapkan untuk dapat membentuk, membina, dan menjadi senjata ampuh untuk membangun pribadi Islami dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia?
B.      Metode Membina Pribadi Islami yang Berakhlakul Karimah
Dalam upaya menanamkan nilai-nilai pribadi yang islami untuk mencapai kesempurnaan akhlakul karimah perlu adanya metode yang dapa menjadi tolak ukur dalam membina akhlakul karimah.Adapun metode pembinaan akhlakul karimah adalah sebagai berikut : Pertama, al-gharizah (pembinaan instink). Al-Gharizah adalah sejumlah kemauan yang dapat mendorog usaha mencapai puncaknya tanpa memerlukan pemikiran mendalam (Abu Fida, 2002: 15). Manusia memiliki instink (naluri) yang sudah dibawa sejak lahir seperti instink membela diri, instink kecenderungan bersatu dengan kelompok, dan instink memiliki rasa takut, serta instink ketuhanan yang ada di dalam diri.
Kedua, al- adat (pembiasaan). Kebiasaan adalah pekerjaan yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga melakukannya akan menjadi mudah. Pembiasaan sebagai salah satu metode atau jalan untuk memperbaiki dan mendidik perilaku atau akhlak seseorang sehingga menjadi kebiasaan atau tabiat yang dapat membentuk kekuatan yang positif yang dapat mencerminkan perilaku yang berakhlakul karimah.
Ketiga, al-iradah (membina kemauan). Iradah adalah kekuatan yang memiiki daya gerak yang mampu membangkitkan manusia. Dalam membina kemauan pada diri, ada dua dorongan yang mampu mengantarkan manusia untuk berbuat baik dan tidak baik.  Irodah dafi’ah merupakan kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu perbuatan. Sedangkan irodah mani’ah adalah kekuatan yang mampu menahan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan.
Keempat, al-wiratsah (membina keturunan dan lingkungan). Membina keturunan merupakan suatu metode untuk membina seorang anak. Penanaman akhlak seharusnya dapat ditanamkan sejak usia dini. Bahkan penanaman akhlak dapat tertanam ketika masih didalam rahim seorang ibu. Seorang anak akan memiliki budi pekerti yang luhur, jika kedua orang tuanya juga memiliki kepribadian yang luhur, karena seorang anak akan selalu mengikuti dan mencontoh tingkah laku kedua orang tuanya.
                   Oleh karena itu, penanaman akhlak terhadap seorang anak dipengaruhi oleh kedua orang tuanya. Kondisi psikis dan jiwa seorang anak sangat rentan sekali, sehingga harus ada pembinaan yang intensif dan istiqomah dalam hal membina keturunan. Kemudian aspek yang paling dominan dan besar pengaruhnya pada seorang anak adalah faktor lingkungan. Seorang anak bisa menjadi baik dan buruk moralnya tergantung pada lingkungan dimana anak itu berkembang. Oleh karena itu, peranan kedua orangtua beserta peran penting dari masyarakat dapat mempengaruhi perkembangan jiwa dan mental seorang anak.
C.      Membangun Pribadi  Islami yang Berakhlakul Karimah
Dalam membangun diri menjadi pribadi yang islami dan berakhlakul karimah seharusnya dilakukan sejak dini bahkan semenjak penanaman benih didalam rahim seorang ibu haruslah dengan penanaman moral dan akhlak. Sehingga moral dan akhlak anak bangsa bisa mencerminkan pribadi yang islami sehingga dapat tercipta suatu negara yang kaffah dan berakhlakul karimah seperti akhlak dan budi pekerti Rasulullah Saw.
Berdasarkan Sabda Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad

 Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Imam Ahmad).

                               Adapun firman Allah Swt yang menerangkan tentang pribadi Rasulullah Saw sebagai suri tauladan yang baik termaktub dalam surah Al-Ahzab: 21


“Sesungguhnya telah ada pada diri pribadi Rasulullah Saw suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan pahala dari Allah dan hari kemudian(Akhirat), serta ia banyak mengingat Allah Swt” (QS. Al-Ahzab: 21).
                              
Berdasarkan ayat di atas, meneladani akhlak dan budi pekerti Rasulullah Saw
merupakan suatu perbuatan yang baik karena sebagai umatnya haruslah berupaya dan senantiasa meneladani integritas pribadi Rasulullah Saw sehingga didalam setiap langkah dan aktifitas selalu mencerminkan perbuatan yang baik dan benar.
 Pada hakikatnya moral dan akhlak memiliki urgensi dan substansi yang sama mengenai perilaku, sikap, dan jiwa seseorang. Akan tetapi moral (etika) itu sendiri merupakan norma-norma/budaya yang telah disepakati oleh suatu masyarakat dalam situasi dan kondisi tertentu. Sedangkan akhlak atau kepribadian muslim yaitu norma-norma hubungan yang baik antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya.
Menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Arief (2002: 2), bahwasanya akhlak adalah gambaran tentang gerakan jiwa yang telah mendarah daging sehingga dapat menimbulkan pekerjaan yang dapat ditunaikan dengan mudah tanpa pertimbangan atau melalui proses pemikiran.  Sedangkan menurut  Ahmad Amin (1998: 12), akhlak adalah kemauan yang dibiasakan sehingga menjadi watak atau akhlaknya. Berdasarkan pendapat para tokoh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pembiasaan (Al-Adat) merupakan salah satu langkah untuk membina akhlak seseorang kearah yang lebih baik, sehingga segala bentuk penyimpangan yang tidak bermoral dapat dihindari.
Oleh sebab itu, upaya untuk menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah dapat dimulai dari diri pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara yang dapat membentuk pribadi yang islami yang berlandaskan syariat Islam. Untuk membentuk syaksiyah Islamiyah dalam diri seseorang ditempuh melalui dua tahapan. Pertama, mewujudkan atau menanamkan aqidah Islamiyah pada diri seseorang agar dia jadikan aqidah sebagai pandangan hidupnya. Kedua, seseorang muslim yang memiliki aqidah Islamiyah kemudian menjadikan aqidah dalam proses berfikirnya sehingga ia memiliki pola fikir yang sesuai dengan pemikiran yang islami (Yusanto dan Jati, 2005: 28).
Oleh karena itu, perlu adanya keharmonisan antara aqidah Islamiyah dengan pola pemikiran yang Islamiyah pula sehingga dalam melangkah tidak terjerumus dalam tindakan yang tidak benar atau batil. Praktik korupsi terjadi karena individu tidak memiliki nilai moral yang dapat mencegah korupsi yang akan dilakukannya. Oleh karena itu, perlu adanya penanaman nilai-nilai moral yang terintegrasi menjadi kepribadian yang kokoh. Ada tiga metode untuk mengintegralisasikan moral dan akhlak pada tiap individu. Pertama, pendekatan rasionalistik. Kedua, pendekatan spiritual. Ketiga, kombinasi antara rasionalistik dan spiritual. Akan tetapi metode yang paling cocok diterapkan adalah metode yang kedua yaitu spiritualistik karena sesuai dengan fitrah manusia untuk berbuat baik, cocok dengan karakter masyarakat Indonesia yang religius, serta konsep pendekatannya dapat dimasukkan dalam kurikulum pengajaran nasional.
Maka dari itu perlu adanya usaha-usaha untuk menanamkan nilai-nilai moral dengan pendekatan spiritualistik. Dengan adanya pendekatan spiritualistik tersebut, maka dapat pula dilakukan suatu pembinaan pembersihan jasmani maupun pembersihan rohani atau jiwa (tazkiyatun nafs) yang akan menghasilkan suatu individu yang memiliki integritas pribadi yang islami, jujur dan malu untuk melakukan korupsi.
Agama Islam adalah agama yang mayoritas di negeri ini yang memiliki konsep ajaran yang hanif (lurus) yang sesuai dengan fitrah dan jiwa manusia. Agama Islam disamping memperhatikan kebersihan raga juga memperhatikan kebersihan jiwa. Dalam membersihkan jiwa dari penyakit korupsi haruslah memerlukan konsep yang tepat dan akurat . Oleh karena itu konsep penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) sangatlah tepat untuk mengobati jiwa-jiwa yang sakit pada diri setiap manusia yang telah menjamur disetiap lini kehidupan, baik jiwa pribadi, keluarga, masyarakat, maupun jiwa para pemimpin yang terjerumus dalam segala bentuk penyimpangan dan tindak kejahatan korupsi.
Oleh karena itu, upaya untuk membentengi diri dari perbuatan yang tercela dapat dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan adanya upaya pembersihan jiwa maka segala bentuk penyimpangan akan bisa terkontrol dan terkendali dengan senantiasa berusaha memperbaiki diri dan memperbaharui keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Adapun upaya membersihkan jiwa dari segala bentuk penyimpangan dan perbuatan tercela adalah; Pertama, membentuk sifat jujur dalam diri. Secara bahasa jujur adalah menetapkan hukum sesuai dengan realitas. Menurut Syekh Abdul Qadir Jailani jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan tetap bersikap jujur walaupun dalam posisi yang tidak menyelamatkan jiwanya (Rafi’, 2006: 151).
Kejujuran merupakan derajat kesempurnaan manusia tertinggi dan seorang tidak akan berlaku jujur kecuali dia memiliki jiwa yang baik, hati yang bersih, pandangan yang lurus, sifat yang mulia, lidah yang bersih, dan hati yang diliputi dengan keimanan, keberanian, dan kekuatan.
Kejujuran termasuk penyempurnaan iman dan pelengkap keislamannya, karena Allah Swt memerintahkan kepadanya dan memuji orang-orang yang jujur. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. At-Taubah :119



“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS. At-Taubah: 119).

Berpijak dari ayat Al-Quran di atas, ketika di dalam diri seseorang telah tertanam sifat kejujuran maka tindak penyimpangan dan perbuatan-perbuatan yang tercela yang dapat merusak jiwa bisa terkontrol, sehingga tindak kejahatan korupsi yang telah merajalela hampir di setiap lini kehidupan, baik di lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga swasta.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya penanaman sikap kejujuran sejak dini sehingga dapat menjadi suatu kebiasaan yang dapat mendorong seorang anak untuk dapat berkata yang jujur dan benar. Peranan kedua orang tua dalam membina akhlak dan jiwa seorang anak sangatlah penting dan menjadi suatu kewajiban bagi kedua orang tua dalam membina anak-anaknya sehingga tidak terjerumus dalam hal-hal yang tidak diinginkan atau perbuatan yang tercela. Maka dari itu peranan orang tua memiliki urgensi yang amat penting dalam menciptakan seorang anak yang  shalih dan senantiasa berada dijalan yang benar.
 Kemudian hal-hal yang dapat menyebabkan anak dapat menjadi baik dan tidak baik tergantung kepada dimana lingkungan seorang anak itu berada. Jika ia berada didalam lingkungan yang baik dan religius maka ia akan menjadi seorang anak yang memiliki pribadi yang islami dan shalih, dan jika ia berada dalam lingkungan yang buruk maka ia akan menjadi anak yang buruk pula, karena baik buruknya seorang anak itu tergantung dari bimbingan kedua orang tuanya dan lingkungan tempat ia berada untuk melakukan aktifitas sehari-hari.
Lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan diri seorang anak, baik mental maupun kondisi psikologinya karena ketika anak terlepas dari pantauan kedua orang tuanya faktor lingkunganlah yang dapat mempengaruhi seorang anak untuk dapat melakukan hal-hal yang positif dan negatif. Oleh karena itu kedua orang tua haruslah dapat menjadi panutan dan contoh yang baik bagi anak-anaknya serta dapat selalu memantau anak-anaknya dalam setiap pergaulannya.
Kedua, membentuk sifat amanah. Membentuk sifat amanah wajib bagi setiap individu muslim, karena amanah adalah kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepada dirinya, baik amanah dari Allah Swt maupun dari orang-orang yang memberikan kepercayaan kepadanya untuk melaksanakan tugas sebagai seorang pemimpin maupun tugasnya sebagai seorang manusia di muka bumi (Asyiq dan Kaffah, 2007: 66).
Seorang pemimpin adalah sebagai pembawa amanat Allah Swt, amanat keadilan dan kemaslahatan segenap rakyat adalah tugas dan kewajiban bagi seorang pemimpin. Berdasarkan firman Allah Swt yang termaktub dalam surah An-Nisa ayat 58


 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah-amanah kepada pemiliknya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (QS. An-Nisa: 58).

Menurut Quraish Shihab (2002: 479) dalam Tafsir Al-Mishbah bahwasanya amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan nanti akan diminta oleh pemiliknya. Amanat harus ditunaikan dengan adil dan penuh tanggung jawab serta ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan, dan ras. Oleh karena itu, jika amanat telah ditegakkan secara adil dan bijaksana maka negara ini akan terbebas dari tindak penyimpangan, sehingga apa yang dicita-citakan oleh seluruh rakyat dan diinginkan oleh rakyat dapat terwujud. Pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan yang berasakan islam yang dapat mengantarkan rakyatnya kearah kesejahteraan dan kemakmuran secara merata, sehingga dapat menjadi suatu negara yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur.
Ketiga, mensyukuri nikmat harta. Syukur adalah ungkapan pujian seorang hamba kepada sang pemberi nikmat atas segala kebaikan yang telah diberikan kepadanya. Syukur seorang hamba terdiri atas tiga rukun yaitu, secara batin mengakui nimat yang telah diberikan kepadanya, secara lisan dan kombinasi antara lisan dan batin harus diucapkan dan dijadikan sarana untuk mendekatkan diri serta meningkatkan ketaatan kepada Allah Swt.
Syukur adalah cara yang ampuh membentuk sifat qana’ah dalam diri manusia. Dengan adanya sifat qana’ah akan timbul sifat-sifat ridha terhadap anugrah dari Allah  yang diberikan kepadanya.  Jadi dengan adanya sifat syukur terhadap nikmat harta yang dimilikinya maka secara otomatis rasa syukur akan tumbuh dan berkembang menjadi suatu ketaatan kepada Allah Swt, sehingga di dalam menjalani kehidupan sehari-hari selalu mengharapkan ridha dari Swt baik dalam aspek keduniawian maupun keakhiratan. Sesuai dengan firman Allah Swt yang termaktub didalam Al-Quran surah Ibrahim ayat 7



“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).

Berdasarkan ayat Al-Quran tersebut, jika manusia itu dapat bersyukur tentang apa yang telah diberikan kepadanya baik nikmat kesehatan, nikmat umur, dan nikmat harta, maka ia akan memperoleh kebahagiaan didunia maupun diakherat kelak. Oleh karenanya upaya untuk memupuk rasa syukur didalam jiwa sangatlah penting dengan cara melihat kepada orang-orang miskin yang ada dibawah sehingga muncul upaya untuk dapat introspeksi diri dan saling tolong menolong kepada kebaikan.
Syukur terhadap harta merupakan upaya untuk dapat bermuhasabah (introspeksi) tentang nikmat harta yang dimilikinya, karena itu, perlu adanya kesadaran diri bahwasanya harta yang diberikan merupakan suatu titipan sementara dari Allah Swt kepada seluruh umatnya.
Keempat, menumbuhkan rasa takut (khauf) kepada Allah Swt. Rasa takut seorang hamba kepada Rabb-Nya sangat berpengaruh terhadap tingkah laku dan perbuatannya. Dengan adanya rasa takut didalam diri sehingga dapat mencegah dari perbuatan yang tercela dan mengikatnya menjadi bentuk-bentuk ketaatan kepada sang khalik.
Kekurangan rasa takut akan mendorong manusia kepada kealpaan dan keberanian untuk melakukan tindakan-tindakan menyimpang seperti korupsi. Tindak kejahatan korupsi tersebut terjadi karena tidak ada rasa takut akan azab Allah yang sangat pedih, sehingga usaha untuk melakukan korupsi dengan mudah dilakukan walaupun ditempuh dengan berbagai cara yang tidak benar.
Abdul Qasim Al-Hakim bertutur, “siapa yang takut terhadap sesuatu ia akan lari darinya. Tetapi siapa yang takut kepada Allah, ia justru lari untuk mendekatinya”. Seseorang yang takut kepada Allah akan diberikan keutamaan dan diberikan naungan pertolongan serta terhindar dari azab api neraka (Ahnan dan Nuris, 2005: 141).


“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabb-Nya yang tidak tampak oleh mereka, dan mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Mulk: 12).
Rasa takut merupakan suatu cerminan diri bahwasanya Allah Swt selalu mengawasi segala gerak gerik umat manusia. Walaupun Allah tidak nampak dengan kasat mata akan tetapi Allah Swt maha mengetahui akan segalanya.
Dengan adanya rasa takut akan adanya azab Allah Swt maka perbuatan yang akan dilakukan dapat menjadi kontrol diri dalam menjalani setiap aktifitas hidup, sehingga tindak kejahatan korupsi dapat terkendali walaupun tidak secara totalitas akan tetapi dengan adanya upaya-upaya tersebut korupsi di negeri ini akan musnah dengan sendirinya jika didalam diri pribadi umat manusia telah tertanam sifat-sifat akhlakul karimah sebagai cerminan dan implementasi dari diri pribadi Rasulullah Saw sebaga suri tauladan yang baik.
Kelima, menumbuhkan sifat malu. Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits yang menggambarkan betapa rasa malu harus ditumbuhkan dan dibudayakan demi keselamatan suatu bangsa. Rasulullah Saw bersabda: “Jika Allah ingin menghancurkan suatu kaum, dicabutlah dari mereka rasa malu”. Jika rasa malu hilang maka yang muncul adalah sikap keras hati. Ketika sikap keras hati telah membudaya Allah mencabut dari mereka sifat amanah, kejujuran, dan tanggung jawab.
Malu merupakan akhlak dan jiwa yang luhur nan indah. Malu juga merupakan akhlak yang dapat mendorong orang berbuat kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan. Oleh karena itu, syariat Islam yang agung memberikan memberikan tekanan pada sikap malu dan memberikan pujian pada orang yang memiliki sifat malu.
Berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Al-Hakim  “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak , dan akhlak Islam adalah malu” (HR. Al-Hakim).
Bangsa Indonesia akan hancur ketika pada diri setiap manusia tidak ada lagi sifat malu, karena hilangnya sifat malu tersebut akan berimplikasi terhadap hancurnya moral anak bangsa. Oleh karena itu, perlu adaya upaya penangana khusus mengenai jiwa yang sakit dan upaya untuk menghilangkan sifat iri, dengki, hasut merupakan sifat fasad (kerusakan) yang memang sebagai manusia biasa hal ini harus diperhatikan dan senantiasa berupaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Kehancuran suatu bangsa terjadi karena telah tercabutnya rasa malu yang ada pada diri pribadi umat manusia. Manusia pada umumnya manusia memiliki sifat malu akan tetapi ketika ia diambang kesusahan yang berkepanjangan, maka melakukan perbuatan yang tidak baik dengan mudah ia lakukan karna adanya faktor merasa tidak puas dan kuatnya iri dan dengki dalam dirinya serta rendahnya taraf keimanan yang ada pada dirinya.
Keenam, muraqabbatullah (pengawasan Allah). Muraqabbatullah adalah merasakan keagungan Allah Swt disetiap waktu, kapanpun dan dimanpun berada serta merasakan kebersamaan dikala sepi maupun ramai. Akan tetapi tidak semua orang dapat merespon muraqabbatullah dan ihsan kepada Allah sebagaimana mestinya, malah banyak yang tidak menyadari bahwa setiap detik, menit, jam, dan setiap hari selalu berada dalam pengawasan Allah.
Dalam sebuah hadits, Nabi ditanya tentang ihsan dan beliau menjawab, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya, maka dia melihat engkau” (Quraish Shihab, 2007: 163).
Dalam setiap tingkah laku perbuatan umat manusia selalu dan tidak pernah lepas dari pengawasan Allah Swt, karena Allah Swt senantiasa mengintai, melihat, dan mengawasi hambanya. Sebagai seorang manusia yang memiliki integritas pribadi yang luhur, maka manusia perlu memahami dan merasakan didalam sanubari dan jiwa bahwasanya Allah Swt tidak pernah tidur dan lengah dalam mengawasi setiap langkah hambanya.
Oleh karena itu, upaya untuk berislah diri atau memperbaiki diri merupakan suatu keharusan bagi setiap umat manusia. Dengan adanya rasa takut dan pengawasan akan Allah Swt, maka manusia akan terhindarkan dari segala bentuk dan macam kemaksiatan dan penyimpangan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang banyak dan bahkan merugikan negara.
Ketujuh, menumbuhkan kecintaan (al-mahabbah). Menumbuhkan kecintaan kepada Allah Swt merupakan hakikat keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Rasa cinta merupakan anugrah dari Allah Swt kepada makhluknya. Cinta yang paling wajib dan paling tinggi adalah cinta kepada Allah Swt dengan senantiasa mengerjakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
Oleh karena itu ketika seorang manusia tidak memberikan rasa cintanya kepada Allah Swt maka manusia itu akan  melakukan berbagai penyimpangan. Sebagai contoh penyimpangan tersebut adalah korupsi. Korupsi  terjadi akibat kecintaan manusia terhadap dunia atau harta yang berlebihan (2006: 168).
Maka dari itu, perlu adanya kecintaan kepada Allah Swt sehingga disetiap langkah dan tingkah laku senantiasa dalam perlindungan Allah Swt. Dalam konteks menumbuhkan kecintaan kepada Allah Swt  merupakan implementasi dari hakikat diri atas  keimanan kepada Allah Swt.
Rasa cinta kepada Allah Swt haruslah dapat dibina didalam jiwa serta dapat dijadikan suatu acuan bagi setiap insan dalam melaksanakan segala aktifitas, sehingga adanya keseimbangan antara kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat kelak. Ketika seorang manusia telah tertanam rasa cintanya kepada Allah Swt dan kesungguhannya tentang makna hidup ini, maka jiwa akan merasa tenang, tentram, dan damai melalui taqarrub kepada Allah Swt.
Kedelapan, bertaubat untuk tidak melakukan korupsi. Taubat adalah kembali kepada Allah dengan sebenar-benarnya (taubat nasuhah). Taubat nasuha adalah penyesalan dalam hati, permohonan ampunan dengan lisan, meninggalkan dan tidak mengulanginya lagi. Manusia tidak pernah luput dari namanya khilaf dan kealpaan, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk senantiasa mengingat Allah dan memohon ampunan atas segala apa yang telah diperbuat dan dilakukan baik sadar ataupun tidak.
Dengan senantiasa memohon ampunan Allah baik denagn hati dan lisan, dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat untuk mengharapkan ridha dan ampunan dari Allah Swt. Berdasarkan firman Allah Swt dalam surah An-Nur ayat 31:



 “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31).

Berpijak dari ayat Al-Quran diatas, bahwa senantiasa berupaya mensucikan jiwa serta bertaubat kepada Allah Swt dengan sebenar-benarnya. Dengan senantiasa berupaya dan bertaubat kepada Allah Swt serta berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan selalu memperbaharui keimanan dan ketakwaannya.

D.     Kesimpulan
                         Kehancuran moral dan akhlak suatu bangsa diakibatkan karena tidak adanya keseimbangan kehidupan duniawi dan ukhrawi sehingga realitas sekarang bangsa ini mengakibatkan degradasi moral dan telah mewabah hampir disetiap aspek kehidupan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya penanganan secara intensif tentang moralitas bangsa ini. Dengan selalu meningkatkan keimanan serta ketakwaan kepada Allah Swt serta menanamkan sifat-sifat pribadi yang islami dan berakhlakul karimah serta memiliki sifat jujur dan amanah kepada apa yang telah di amanatkan kepadanya. Jika didalam jiwa dan diri telah tertanam sifat-sifat akhlakul  karimah  yang merupakan perwujudan dan cerminan dari diri pribadi Rasulullah Saw. Insya Allah segala bentuk penyimpangan dan perbuatan-perbuatan tercela akan dapat terkendali dan tertuntaskan sehingga  pada setiap pribadi diri dan Negara Indonesia akan selalu mendapatkan naungan dan ridha dari Allah Swt.
                         Jika didalam diri telah ada sifat pribadi diri Rasulllah Saw melalui sifat akhlakul karimah beliau sebagai suri tauladan yang baik bagi umatnya, maka tindak kejahatan korupsi di negeri ini bisa diberantas sampai keakar-akarnya. Melalui terapi penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) yang meliputi diri untuk  selalu bersikap jujur, amanah, bersyukur, menumbuhkan rasa takut kepada Allah, adanya sifat malu dalam diri, muraqabbatullah, menumbuhkan kecintaan, dan senantiasa bertaubat kepada Allah Swt dengan sebenar-benarnya taubat dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
                         Akhirnya, di penutup tulisan ini penulis merekomendasikan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk dapat berupaya menciptakan Negara Indonesia yang bersih, jujur, adil, dan sejahtera. Sehingga bangsa ini bisa mapan dalam menyikapi segala permasalahan yang ada dan bisa menjadi bangsa yang berkarakter melalui pribadi-pribadi masyarakat Indonesia yang islami. (MA).











DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan terjemahannya. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Abu Fida’ Abu Rafi’. 2006. Terapi Penyakit Korupsi. Jakarta: Republika
Aqis Bil Qisthi. 2005. Kumpulan Sabda Nabi Muhammad Saw. Jakarta: Bintang Usaha Jaya
Basri Iba Asghary. 1994. Solusi Al-Quran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Ismail Noor. 2011. Manajemen Kepemimpinan Muhammad Saw. Bandung: PT. Mizan Pustaka
M. Ismail Yusanto dan M. Sigit purnawan Jati. 2005. Membangun Kepribadian Islam. 
Jakarta: Khairul Bayan
M. Romly Arief. 2002. Akhlak Tasawwuf. Jombang: BMT Muamalah Press IKAHA Tebuireng
M. Asyiq Amrulloh dan Eryvyn. 2003. Amanah vs Kekuasaan. Mataram: Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB
M. Quraish Shihab. 2007. Secerah Cahaya Ilahi. Bandung: Mizan
M. Quraish Shihab. 2002. Tafsir Al-Misbah. Tanggerang: Lentera Hati
Mafhum Ahnan dan Anwar Nuris. 2005. Khusnul Khotimah. Surabaya: Terbit Terang
Tariq Muhammad As-Suwaidan dan Faisal Umar. 2005. Kepemimpinan Rasulullah. Jakarta: Maghfirah Pustaka






                                


[1] Penulis adalah staf pengajar di SMP Muhammadiyah 2 dan SMK Mamburungan Kota Tarakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar